TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Oleh :Muhammad Ashar
Konsepsi
pembangunan sesungguhnya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek spasial.
Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal
membuktikan keberhasilan. Hal ini antara lain dapat dilukiskan di negara-negara
Singapura, Hongkong, Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi
di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan
melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme
politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat
diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah
perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut
dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari
semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih
dari beragam perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested
interest) dari keuntungan semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan waktu (inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial menjadi kurang relevan
dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan Rochmin
Dahuri, 2004).
Namun
demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan kajian
terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan
berbagai kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena
yang khas, antara lain kesenjangan,
kemiskinan, pengelolaan public good yang tidak tepat, lemahnya mekanisme
kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan
itulah yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk,
barang dan jasa, prestasi, dan keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi
dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin
parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi mudah diketemukan antar wilayah,
sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi. implisit, juga terjadi
dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan terhadap sumberdaya
saat ini karena penuh dengan berbagai resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan ini bukan saja
jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di
atas adalah mekanisme pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak
mampu dihambat karena beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan dapat diterima
oleh logika ekonomi disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara
sistematis.
Kecendrungan globalisasi dan
regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan peluang baru bagi proses
pembangunan di Indonesia. Dalam era seperti ini, kondisi persaingan antar
pelaku ekonomi (badan usaha dan/atau negara) akan semakin tajam. Dalam kondisi
persaingan yang sangat tajam ini, tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali) dituntut
menerapkan dan mengimplementasikan secara efisien dan efektif strategi bersaing
yang tepat (Kuncoro, 2004). Dalam konteksi inilah diperlukan ”strategi
berperang” modern untuk memenangkan persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif
diperlukan tiga hal (D’Aveni, 1995), pertama, visi terhadap perubahan dan
gangguan. Kedua, kapabilitas, dengan mempertahankan dan mengembangkan kapasitas
yang fleksibel dan cepat merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang mempengaruhi arah
dan gerakan pesaing.
A. Pengertian
Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam
dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin
1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup
teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan
teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan.
Paradigma
ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development)
ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory)
sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya
kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan
dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul
berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik
untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang
paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini
serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari
perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis,
modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan
pendahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada
tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi
untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga
negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho
dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi
pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Tema kedua
adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat
diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam
seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya
kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien,
transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang
berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan
nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai
pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam
seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda
oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya,
Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum ada suatu kesepakatan
bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy
Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994)
memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian
usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation building)”.
Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994)
memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses
perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana”.
Pada awal
pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang
mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi
dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran
tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan,
dan modernisasi serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur
perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup
prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang
berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya
merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi
Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup
seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan,
pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes
(1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan
budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki
berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T.
Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai
transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan
strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi,
misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang
cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan
nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi
semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan
modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian
kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya
sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas
rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan
transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya
semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan
norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke
materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada
penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan
rasional.
Dengan demikian,
proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi,
sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro
(commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana
dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui
upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi
secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy
Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin
meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek,
pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan
industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi diartikan sebagai proses
trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik
ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena
dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada
perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses
pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi
modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat
modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para
Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep
pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai
suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang
dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula
ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan
perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan
tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas
batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan
mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang,
sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu
kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan
merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam
arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan
akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan
dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion)
atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas
masyarakat.
B. Evolusi dan Pergeseran Makna
Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan
yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk
Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional
difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi
pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per
capita (pendapatan per kapita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat
melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi
mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.
Kontribusi mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung
melihat segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok
indikator-indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang
berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak
dari benarkah semua indikator ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa
ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan,
pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat
pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam
paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu
proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli
menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai
(Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan
orang. Dalam arti luas pembangunan suatu daerah haruslah meningkatkan
kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara
untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna
pembangunan tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran makna pembangunan.
Menurut Kuncoro (2004), pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang
mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan
ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan
mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti
pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan
ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya yang memperkuat
keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara,
1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat
peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan
berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti
pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya mengartikan
pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula
yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with
change), terutama
perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi
tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan
perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak
negara, setidaknya pada tahap awal pembangunan umumnya berfokus pada
peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata
kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu,
strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan
ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Peranan sumber daya manusia (SDM) dalam
strategi semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah satu “faktor
produksi” saja. Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan merupakan subyek
dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah
mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi
keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas
SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam
kerangka production centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik
pembicaraan dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas
pada masalah pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas manusia yang meningkat
merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan
masyarakat industrial. Alternatif lain
dalam strategi pembangunan manusia adalah apa yang disebut sebagai people-centered
development atau panting people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia
(rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas
manusia merupakan sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang
semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan
trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek
pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan
segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam
pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan
berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut
etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum
sebagai berikut:
1.
Para proponen
strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”,
pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada
pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan
bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan
kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal
manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi
lemah.
2.
Strategi pemenuhan kebutuhan pokok
dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam “jaminan” agar setiap kelompok
sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari setiap program pembangunan.
3.
Pembangunan “mandiri” telah muncul
sebagai kunsep strategis dalam forum internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi
Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja sama yang menarik dibanding
menarik diri dari percaturan global.
4.
Pentingnya
strategi ecodevelopment, yang intinya
mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang
bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi;
namun yang paling utama adalah, strategi pembangunan ini harus berkelanjutan
baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5.
Sejauh ini baru
Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP
dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan
kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan
masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam
Kuncoro, 2004).
C. Indikator
Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda
untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan
pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik
masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah.
Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut,
indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor sekunder
dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh
lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB),
struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat
pula dua indicator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi
suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks
Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T.
Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1. Pendapatan perkapita
Pendapatan per
kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor
makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi.
Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan
manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator
makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan.
Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan
pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya
peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian,
beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi
pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan
pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya
ekonomi.
2. Struktur ekonomi
Telah menjadi
asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi
struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya
perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri
dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor
industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas
barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan
perluasan tenaga kerja. Di lain pihak , kontribusi sektor pertanian terhadap
pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi dapat
diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah
perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi
apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi
di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah
urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa
kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses
industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di
wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi
terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi
digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri
selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital
merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat,
sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan
kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang memiliki
produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik
swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas
Hidup
IKH atau Physical Qualty
of life Index (PQLI)
digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini
dibuat indicator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang
kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya,
pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh
peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1)
angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi,
dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan
kematian b yi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat
kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan
kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat
menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil
pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena
tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para
anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik
untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping
pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United
Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan
untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya
indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia.
Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya
manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses
yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia.
Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan
diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup
manusia secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai
factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan
mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada
tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur panjang
dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap
akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn
mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir,
(2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan
per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat
dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge,
attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh
anggota keluarga dan lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar