Sabtu, 25 Agustus 2012

SEKOLAH BERBASIS : PSIKOLOGI POSITIF DAN MULTIPLE INTELLIGENCE

SEKOLAH BERBASIS : PSIKOLOGI POSITIF DAN MULTIPLE INTELLIGENCE

SEKOLAH BERBASIS : PSIKOLOGI POSITIF DAN MULTIPLE INTELLIGENCE

oleh Muhammad Alwi pada 5 Juli 2012 pukul 19:41 ·
MULTIPLE INTELLIGENCE DAN PSIKOLOGI POSITIF
Howard Gardner dan Martin Seligman

Dalam diskusi dan trining serta workshop tentang pembelajaran Multiple Intelligence (MI) yang sering dilakukan (dan kebetulan kami juga melakukan itu; Integrasi MI dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, KTSP). Ada 2 pertanyaan yang cukup menggelitik dan sering kali dijawab dengan ‘sekenanya’ oleh para penggiat MI yang kami kenal. Pertanyaan itu adalah; Pertama, Setelah diketahui kecerdasan seorang siswa, lewat survey (OMI = Observasi Multiple Intelligence), bagaimana mengajar dengan basis data itu? Kedua, Kecerdasan guru terkadang beda dengan kecerdasan umum kelasnya. Bagaimana ini bisa effektif dan effisien? Ketiga, Apa hubungannya antara Multiple intelligence dan Positive Education
Pertama : Kita mesti tahu bahwa, pendidikan sebagai ilmu terapan, itu pasti punya pendasaran ‘teoritis’ nya pada psikologi atau ilmu neurosain lainnya, bahkan filsafat.
Seperti konsep Kontruktivisme, pendasarannya adalah Psikologi Cognitive dan Epistemologi Biologi dari penemunya Jean Piaget. Kalau kita belajar KTSP, belajar CTL (Contextual Teaching and Learning), maka konsep Kontruktivisme pasti diajarkan dengan cukup serius.
Dimikian juga dengan Multiple Intelligence (MI), ini adalah teori Kecerdasan baru yang digagas oleh neurosaintis, di project Zero, Harvard University, AS. Penemunya adalah Howard Gardner. Beliau mengatakan kecerdasan itu ada 7 (dibuku awalnya, Frame of Mind, 1983, lalu berkembang menjadi 8 dan sekarang 9). Lalu teori itu diadop dan diaplikasikan di dunia pendidikan, oleh para praktisi…yang kadang-kadang, maaf ‘kurang faham’ terhadap teori aslinya. Sehingga rancu mana yang MI dan mana yang tidak MI. sehingga sering kali mereka mengklaim banyak hal sebagai MI.

Positive Edication

Positive Education adalah konsep pendidikan yang diusung Marty (panggilan akrab Martin E. Seligman). Ia adalah presiden APA (American Psychological  Association), Directur Clinical Training Program Univesitas Pennsylvania yang dijuliki Frued abad 21, dan bapak Psikologi positif, pengarang buku Learned Helplessness dan Authentic Happiness. Psikologi Positive adalah psikologi yang mengkritik semua psikologi sebelumnya. Dimana para psikolog biasanya mirip dengan dokter dan psikiatri, kerjanya mengobati orang. Psikologi positive mengatakan;
“Sejak perang dunia ke 2, psikologi sudah banyak menghasilkan upaya besar dengan penanganan masalah dst….tetapi masalahnya adalah psikologi saat ini berkutat atau condong pada memperbaiki masalah-masalah kejiwaan manusia, bukan mengoptimalkan hal-hal yang dimiliki manusia. Psikologi positif mengusulkan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini dengan berfokus pada kekuatan dan kelemahan, serta membangun hal-hal terbaik dalam hidup manusia serta memperbaiki kelemahan atau hal-hal yang buruk. Ini menegaskan bahwa kebaikan manusia dan keunggulan adalah sama secara otentik. Keseimbangan memperbaiki dan mengoptimalkan adalah hal yang patut diupayakan. Kebahagiaan itu bukan hilangnya masalah atau penderitaan.”
"Kebahagiaan" umumnya didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan atau pengalaman yang menyenangkan, tetapi gagasan kebahagiaan hanya sebagian kecil dari psikologi positif. Psikologi positif adalah studi ilmiah mengenai kekuatan dan kebajikan yang memungkinkan individu dan komunitas untuk berkembang. Menurut Seligman (2002), psikologi positif memiliki tiga keprihatinan utama: 1) Emosi Positif, 2) Sifat-sifat individu positif, dan ) Institusi positif.
Memahami emosi positif memerlukan studi kepuasan dengan kebahagiaan, masa lalu dan  sekarang, dan berharap untuk masa depan. Memahami sifat-sifat individu positif terdiri dari studi tentang kekuatan dan kebajikan, seperti kapasitas untuk cinta dan pekerjaan, keberanian, kasih sayang, ketahanan, kreativitas, rasa ingin tahu, integritas, pengetahuan diri, moderasi, pengendalian diri, dan kebijaksanaan. Memahami lembaga positif memerlukan studi tentang arti dan tujuan serta kekuatan yang mendorong masyarakat lebih baik, seperti keadilan, tanggung jawab, kesopanan, pengasuhan, pemeliharaan, etos kerja, kepemimpinan, kerja tim, tujuan, dan toleransi.
Kita mesti tidak menyamakan Psikologi Positive dengan Berfikir Positive yang sudah umum (kami tidak menjelaskan disini). Psikologi positif tidak mesti menganjurkan berfikir positif. kadang berfikir negative memberikan keakuratan lebih baik.
Beberapa temuan Psikologi Positive yang menyalahkan atau tidak membenarkan pendapat umum (Common-sense).

Untuk menyebutkan beberapa:
1) Kekayaan hanya terkait sangat sedikit dengan kebahagiaan di dalam lintas negara, khususnya ketika pendapatan di atas tingkat kemiskinan (Diener & Diener, 1996). 2) Kegiatan yang membuat orang bahagia dalam dosis kecil - seperti belanja, makanan yang baik dan menghasilkan uang - tidak mengarah pada pemenuhan kebahagiaan dalam jangka panjang (Myers, 2000; Ryan & deci, 2000). 3) Terlibat dalam sebuah pengalaman yang sangat 'intent-oke' (“flow”) begitu menggembirakan. Berkegiatan semacam ini adalah kebahagiaan tersendiri. Flow dialami ketika ketrampilan seseorang yang cukup untuk kegiatan yang menantang, dalam mengejar tujuan yang jelas, dengan umpan balik langsung tentang kemajuan ke arah yang dituju (keberhasilan). Dalam kegiatan seperti ini, konsentrasi sepenuhnya terlibat pada saat itu, kesadaran diri menghilang, dan waktu tidak ada (Csikszentmihalyi, 1990). Inilah yang dikatakan para jenius penemu-penemu besar. Saat kami melakukan hal-hal serius, besar, butuh kosentrasi sangat banyak dan sangat lama, kami disana hanya tak ubahnya “ Bermain-main”. 4) Orang yang mengucapkan terima kasih secara teratur memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, optimisme, kemajuan ke arah tujuan, kesejahteraan, dan membantu orang lain lebih (Emmons & Crumpler, 2000).
5) Mencoba untuk memaksimalkan kebahagiaan dapat menyebabkan ketidakbahagiaan (Schwartz et al., 2002). 6) Orang yang melihat orang lain berbuat baik , akan memotivasi yang lain untuk berbuat serupa. (Haidt, 2000). 7) Optimisme dapat melindungi orang dari penyakit mental dan fisik (Taylor et al., 2000). 8) Orang yang optimis atau bahagia memiliki kinerja lebih baik dalam pekerjaan, sekolah dan olahraga, kurang depresi, memiliki lebih sedikit masalah kesehatan fisik, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Selanjutnya, optimisme dapat diukur dan dapat dipelajari (Seligman, 1991; Lyubomirsky, Raja & Diener, 2005). 9) Dokter mengalami emosi positif cenderung membuat diagnosa yang lebih akurat (isen, 1993). 10) Pembangunan manusia yang sehat dapat terjadi dalam kondisi kesulitan bahkan besar karena proses ketahanan yang umum dan benar-benar biasa (Masten, 2001). 11) Orang tidak dapat memprediksi berapa lama mereka akan senang atau sedih setelah suatu peristiwa penting (Gilbert, Pinel, Wilson, Blumberg & Wheatley, 1998; Wilson, Meyers, & Gilbert, 2001). Para peneliti menemukan bahwa orang biasanya menaksir terlalu tinggi berapa lama mereka akan sedih setelah peristiwa buruk, seperti putus cinta romantis, namun gagal untuk belajar dari pengalaman yang berulang bahwa prediksi mereka salah. Dst


Konsep teoritis Psikologi Positive, dicobakan dalam dunia praktis pendidikan oleh mereka sendiri, dengan konsep Positive Education, Intinya adalah mengajarkan anak didik, siswa disekolah Sukses (Achievable) dan Bahagia (Well-Being).
Secara umu sekolah ini mengajarkan bagaimana belajar optimist, belajar berbagi, belajar melepaskan dendam, belajar menyelesaikan konflik, belajar untuk syukur, belajar untuk mengendalikan stress/emosi...dst...dst. Disamping kurikulum-kurikulum standart. Dan belajar-belajar ‘positive’ tadi masuk dalam Kurikum. 1) Ditangani oleh guru CB ( Carracter building, SD atau Carrier Development, di SMP/SMA). Ada jam CB/CD/minggu. 2) Guru-gurunya diajarkan Psikologi Positive. (Pelatihan-pelatihan berfikir positive/negtive, optimist/pesimist, quantum ikhlas, dst). 3) Dalam perkembangannya mencampurkan konsep-konsep itu dalam buku-buku paket dan kurikulum standart.
Jawaban Pertanyaan
Untuk menjawab pertanyaan itu, hampir semua penggiat MI mengatakan, pertama, kita ajarkan mereka dengan kecerdasan dominannya (dari 8 kecerdasan yang ada….mungkin siswa X urutan kecerdasannya adalah; Linguistik (L), logis-matematis (LM), visual-spatial (V), Naturalis (N), music (M), intrapersonal (Intra), interpersonal (inter) dan Kinestetik (K) ). Maka kita ambil 4 atau 5 kecerdasan tertingginya (sebagai pendekatan awal), yaitu, L, LM, V, N dan M, dan nantinya kita ‘Pantik’ kecerdasan lainnya (Intra, inter dan K). Tetapi benarkah demikian, bagaimana caranyA, adakah penjelasan teorinya yang cukup memuaskan?

Lalu pertanyaan kedua, ada perbedaan kecendrungan kecerdasan siswa dan kecendrungan kecerdasan guru. Karena perbedaan ini, maka ada kesulitan dan ketidaknyamanan tertentu seorang guru mengajar keluar dari kecendrungan kecerdasannya. Contoh sederhana, guru yang kecerdasan Kinestetik dan Musiknya masuk urutan ke 7 dan 8, akan sangat kesulitan untuk mengajar dengan dominasi 2 kecerdasan tadi. Tapi penggiat MI, akan menjawab gaya belajar akan berbeda dengan gaya mengajar. Sehingga kesulitan itu mestinya tidak perlu terlalu dirisaukan. Sekali lagi jawaban itu adalah jawaban sekenanya dan tidak punya pendasaran teoritis yang cukup. Lalu bagaimana semestinya?
Dari awal saya mendengar jawaban ini, saya agak pesimis dengan kedua jawaban tadi. Sebab common-sense mengatakan; siswa punya kecendrungan kecerdasan tertentu (4/5), mereka diajar dengan pendekatan 4/5 kecerdasan itu, sebab itulah ‘kecendrungan asli’ dia. Bagaimana bisa selainnya menjadi terpantik? Justru logikanya, Karena yang dia suka, diasah diberi asupan dengan pendekatan-pendekatan searah dengan kecerdasannya, maka sesuai dengan hukum neurosain dan psikologi, maka kecerdasan itu makin hipertropi, yang lain jadi atropi (minimal makin tertinggal jauh dengan lainnya). Jadi konsepsi pemantikan itu sulit diterima.
Marty (panggilan akrab Martin E. Seligman) mengatakan;  Setelah beliau menerangkan activitas tonic (aktivitas elektrik-dasar saat otot tidak digunakan) dan aktivitas phasic (semburan aktivitas elektris ketika otot menghadapi tantangan dan berkontraksi). Kebaikan hati, rasa ingin tahu, kesetiaan dan spiritual cenderung tonic. Ketekunan, sudut pandang, keadilan dan keberanian cenderung phasic. Selanjutnya dia mengatakan; Saya tidak yakin anda harus berusaha amat keras untuk memperbaiki kelemahan anda. Saya lebih percaya bahwa keberhasilan tertinggi dalam hidup dan kepuasan emosional terdalam berasal dari membangun dan menggunakan kekuatan-khas anda.…Hidup yang baik adalah menggunakan kekuatan-khas anda setiap hari untuk menghasilkan kebahagian autentik dan grafitifikasi berlimpah.” Ini terjadi karena berasal dari sesuatu yang sangat dikuasai . (Authentic Happiness, 2005: hal 17).

Dari penjelasan diatas dan juga sesuai dengan penjelasan Howard Gardner sendiri tentang spektrum orang sukses mulai dari Zinade (Kinestetik), Einstein (Logis-Matematis), Mozart (Music), Intrapersonal (Frued), Interpersonal (Politisi dan Presiden), Naturalis (Darwin), Visual (Afandi, pelukis dan Arsitek). Kita bisa melihat bahwa ‘konsep pemantikan’ itu tidak signifikant. Justru pengasahan kecendrungan (4/5) kecerdasan tertentu itulah yang mencukupi untuk ‘sukses dan bahagia’. Tidak perlu kita mengasah atau mengusahakan ke 8 kecerdasan itu. Cukup 4/5 kecerdasan tertentu saja. Jangan melatih kucing pandai berenang, atau bebek juara lari.
Untuk menjawab pertanyaan yang kedua, maka survey kecendrungan kecerdasan (OMI) perlu dilakuan. Tidak hanya siswa tapi juga guru. Bila kecendrungan kecerdasan guru (4/5) diatas dari 8, mirip atau sama dengan siswa. maka effisien dan effektivitas pembelajaran dikelas akan bisa lebih optimal. Walau ini memang agak ideal.
Maka kebanyakan dari kita mestinya mencobakan bagaimana mengimplementasikan itu di kelas dengan “Strategi Optimalisasi dengan Batasan”, artinya dengan batasan-batasan yang kita miliki; guru, sarana, fasilitas, kurikulum, UN dst, kita mampu memaksimalisasi hasil yang ‘mungkin’ didapatkan. Insya Allah. Dalam buku kami, “Belajar Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati, Penerapan Multiple Intelligence di Keluarga, Lembaga Pendidikan dan Bisnis” (Elexmedia, 304 hal, 2011), kami jelaskan itu (Konsep Strategi Optimalisasi dengan Batasan). Dan bagaimana itu tidak sulit diterapkan disekolah-sekolah yang  secara umum sudah menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kami upayakan penjelasn itu secara cukup detail, termasuk Pembuatan Silabus, Lesson Plan, Evaluasi, Supervisi dst, dalam “Belajar Berbasis Topografi Otak, Integrasi Multiple Intelligence dan KTSP, Sebuah Buku Kerja Implementasi Dikelas” (Insya Allah Segera akan Terbit).


Muhammad Alwi: Trainer Corporate Multiple Intelligence (CMI), Spiritual Multiple Intelligence (SMI), Belajar berbasis Topografi Otak, Integrasi Multiple Intelligence dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Understanding Personality for Success. Alumni Pasca Sarjana, Human Resource Management, Univ Brawijaya Malang. Sekarang Studi lanjut di Departemen Psychology. Penulis buku, "Belajar Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati", Elexmedia Kompas-Gramedia, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar