Hubungan Guru dengan Siswa
Oleh : Muhammad Ashar
Salah satu ciri dari sebuah profesi
adalah adanya kode etik yang menjadi pedoman bersikap dan berperilaku bagi para
penyandang profesi yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang No. 14
Tahun 2005, secara tegas dinyatakan bahwa guru adalah tenaga
profesional yang berkewajiban untuk senantiasa menjunjung tinggi Kode Etik
Guru, agar kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesionalannya dapat terpelihara. Kode Etik Guru berisi seperangkat prinsip
dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru,
sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.
Tugas
utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap potensi siswanya secara
optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang menjadi manusia-manusia yang
cerdas, baik cerdas secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan
spiritual. Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang diembannya, guru
senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswanya. Dalam konteks
tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan profesional, yang
diikat oleh kode etik. Berikut ini disajikan nilai-nilai dasar dan
operasional yang membingkai sikap dan perilaku etik guru dalam
berhubungan dengan siswa, sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru
Indonesia (KEGI):
- Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
- Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
- Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
- Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
- Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
- Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
- Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
- Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
- Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
- Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
- Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
- Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
- Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
- Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
- Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
- Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
Dalam
kultur Indonesia, hubungan guru dengan siswa sesungguhnya tidak hanya
terjadi pada saat sedang melaksanakan tugas atau selama berlangsungnya
pemberian pelayanan pendidikan. Meski seorang guru sedang dalam keadaan tidak
menjalankan tugas, atau sudah lama meninggalkan tugas (purna bhakti), hubungan
dengan siswanya (mantan siswa) relatif masih terjaga. Bahkan di kalangan
masyarakat tertentu masih terbangun “sikap patuh pada guru” (dalam
bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group”). Meski secara
formal, tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya, tetapi
hubungan batiniah antara guru dengan siswanya masih relatif kuat, dan sang
siswa pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.
Dalam
keseharian kita melihat kecenderungan seorang guru ketika bertemu dengan
siswanya yang sudah sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan
tetap menampilkan sikap dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud yang
berbeda dengan semasa masih dalam asuhannya. Dukungan dan kasih sayang
akan dia tunjukkan. Aneka nasihat, petatah-petitih akan meluncur dari
mulutnya.
Begitu
juga dengan sang siswa, sekalipun dia sudah meraih kesuksesan hidup yang jauh
melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan atau ilmu pengetahuan,
dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat, yang diekspresikan dalam
berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan, menganggukkan kepala,
hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan dihitung dari nilai
uangnya. Inilah salah satu kebahagian
seorang guru, ketika masih bisa sempat menyaksikan putera-puteri didiknya
meraih kesuksesan hidup. Rasa hormat dari para siswanya itu bukan
muncul secara otomatis tetapi justru terbangun dari sikap dan perilaku
profesional yang ditampilkan sang guru ketika masih bertugas memberikan
pelayanan pendidikan kepada putera-puteri didiknya.
Belakangan
ini muncul keluhan dari beberapa teman yang menyatakan bahwa anak-anak sekarang
kurang menunjukkan rasa hormatnya terhadap guru. Jangankan setelah mereka
lulus, semasa dalam pengasuhan pun mereka kadang bersikap kurang ajar. Jika
memang benar adanya, tentu hal ini sangat memprihatinkan. Adalah hal yang
kurang bijak jika kita hanya bisa menyalahkan mereka, tetapi mari kita
berusaha merefleksi kembali hubungan kita dengan putera-puteri didik
kita, sejauhmana kita telah menjalin hubungan dengan putera-puteri didik kita,
dengan didasari nilai-nilai sebagaimana diisyaratkan dalam kode etik di atas.
Jangan-jangan itulah faktor penyebab sesungguhnya.
Berdasarkan
uraian di atas tampak bahwa hubungan guru dengan siswa tidak hanya
dikemas dalam bahasa profesional tetapi juga dalam konteks kultural. Oleh
karena itu, mari kita (saya dan Anda semua) terus belajar untuk sedapat mungkin
berusaha menjaga kode etik guru, kita jaga hubungan dengan putera-puteri didik
kita secara profesional dan kultural, agar kita tetap menjadi guru yang
sejatinya.
Jadilah Guru atau Tidak sama sekali
Penulis :
1.
Alumni Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar Tahun 2005
2.
Staf Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Barat
3.
Dosen tidak tetap pada FKIP Universitas Tomakaka Mamuju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar