GELAR
INSTAN –Legitimasi Akademik Orientasi
simbolik
Oleh
: Muhammad Ashar
A. Pendahuluan
Secara historis dan
sosio-kultural-psikologis masyarakat Eropa berkembang sejak abad 5 SM, kini
mengalami pasang naik kemajuan dan memiliki pilar-pilar kemasyarakatan yang
dikenal sebagai kapitalisme, industrialisme, sentralisme, militerisme, dan
melakukan globalisasi industrialisme yang dilematis. Masyarakat tersebut
mengintegrasikan sistem pendidikan sebagai bagian integral kebudayaan,
memadukan sistem sekolah, ilmu dan teknologi serta mata pencaharian hidup.
Sementara masyarakat Indonesia pasca terjajah, berpeluang melakukan akulturasi
sistem persekolahan sistem Eropa dan Amerika, tetapi “terjebak pada
ketergantungan intelektual” yang berdampak “pengejaran gelar akademik
berorientasi legitimasi simbolik” (Dimyati, 2005). Hal inI mungkin disebabkan
pengembangan pendidikan ke pemikiran keilmuan belum mendapatkan perhatian
serius dalam sistem persekolahan di Indonesia.
B. Kejar Gelar Dengan Nalar
Gelar akademik dan ijazah diterima
oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal
dalam strata tertentu. Untuk memperoleh gelar dan ijazah menurut ketentuan
dalam sistem pendidikan, seseorang harus terlebih mengikuti serangkaian
kegiatan akademik dalam bentuk perkuliahan tatap muka, menyelesaikan tugas
secara terstruktur baik secara individual maupun kelompok, melakukan kegiatan
praktikum serta menyusun-mempertahankan dalam ujian dan dinyatakan lulus ujian
skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Namun pada akhir-akhir ini komunitas
masyarakat akademik, tokoh pendidikan, bahkan masyarakat pada umumnya
dikagetkan oleh penyimpangan, bahkan pelecehan praktek jual-beli gelar akademik
Pengejaran gelar akademik yang
berorientasi legitimasi simbolik dengan kedok lembaga pendidikan, menurut hemat
penulis sudah cukup lama beroperasi. Padahal dalam Undang-Undang No 20 Tahun
2003 secara tegas dinyatakan bahwa mereka dapat dikenai sangsi 1 milyar dan
atau penjara 10 tahun bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara yang
memberikan ijazah dan gelar akademik tanpa hak (pasal 67) dan jika dilakukan
suatu perguruan tinggi dinyatakan ditutup. Sementara setiap orang yang membantu
memberikan ijazah dan gelar akademik yang tidak memenuhi persyaratan dipidana maksimal
5 tahun dan atau denda maksimal 5 ratus juta rupiah (pasal 68:1). Sedangkan
orang yang menggunakan gelar dan ijazah yang diperoleh dari satuan pendidikan
yang tidak memenuhi persyaratan dipidana penjara paling lama 5 tahun dan atau
pidana denda paling banyak 5 ratus juta rupiah (pasal 68:2)
Secara sosiologis, praktek jual beli
gelar dan ijazah menunjukkan masih kuatnya dampak penjajahan dalam sistem
sosial masyarakat Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial
yang akan dimiliki orang-orang yang bergelar tersebut, dan ekspektasi sosial
yang diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki
gelar akademik atau lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung maupun
tidak langsung akan menduduki “status sosial” tertentu di masyarakat.
Dalam kamus Bahasa Indonesia
(Riwayadi, 2005), status diartikan sebagai tingkatan atau kedudukan orang dalam
hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya. Dalam Max Waber (1978) tipikal
status didasarkan pada (1) gaya hidup, (2) pendidikan formal, (3) warisan
turun-temurun atau prestize pekerjaan. Dalam pandangan sosiologis ini
terlihat bahwa status di dalammnya inheren terdapat pengakuan atau keinginan
untuk diakui oleh orang lain atau masyarakat sehingga bisa memperoleh privileges
(hak istimewa). Bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas
kemudahan dalam akses sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Berdasar perspektif ini bisa
dipahami, mengapa sebagian orang “silau” bahkan ambisius untuk memiliki gelar
akademik, meski kadang-kadang tidak melalui jalur pendidikan sebagaimana
resminya. Orang-orang yang silau dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa
gelar akademik yang dimiliki secara illegal itu akan menjadi tiket bagi
peningkatan status sosial atau kenaikan pangkat dan jabatan di tempat kerja.
Menghadapi fenomena ini, kita
sebagai ilmuwan pendidikan harus mengembalikan fungsi pendidikan, bahwa gelar
akademik harus diraih oleh seseorang secara legal dan prosedural. Demikian juga
“status” harus diusahahakan atau diperoleh melalaui melalui upaya dan proses
pendidikan formal secara prosedural. Maksud disini bahwa status dan gelar
bukanlah sesuatu yang bersifat warisan atau karena faktor keturunan, bukan
diperoleh melalui praktek jual beli dengan membayar sekian juta, dan
seterusnya. Gelar yang diperoleh secara illegal ibarat topeng kepalsuan dan
kebanggaan semu belaka, tanpa nalar, nilai, dan etika. Dimyati (2005)
menyebutnya pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik
Masyarakat Indonesia dapat melakukan
akulturasi sistem pendidikan, tanpa terjebak pada ketergantungan intelektual
yang berdampak pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi simbolik. Hal
yang dapat dilakukan yaitu dengan jalan mengembalikan fungsi-fungsi pendidikan
lembaga keilmuan secara rasional-prosedural. Rasional-prosedural perolehan
sebuah gelar akademik, setidaknya dapat dilakukan melalui 4 alternatif:
Pertama, gelar akademik yang diperoleh seseorang , misalnya doktor
Teknologi Pembelajaran, seseorang harus memperolehnya dengan cara mengikuti
kuliah, praktikum, mengerjakan tugas-tugas terstruktur dan mandiri serta
menulis disertasi serta mempertahankannya di dewan penguji.
Kedua, penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi
dan wawasam keilmuan dibidang teknologi pembelajaran yang dikenal dengan
sebutan Ilmuwan pembelajaran. Dalam hal ini mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan dan meneliti dalam bidang pembelajaran, yakni mampu mengembangkan
teori-teori dan konsep-konsep pembelajaran untuk memperbaiki kualitas pembelajaran
dalam rangka memecahkan masalah-masalah belajar.
Ketiga, penyandang gelar akademik tadi mempunyai hak dan kewajiban
yang melekat, baik untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan pengabdian pada masyarakat.
Keempat, pada gelar akademik yang disandang oleh seorang sarjana
terdapat nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan,
sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya sarjana atau lebih dikenal dengan
panca prasetya wisuda. Panca prasetya wisuda dimaksud adalah: Dengan
Rakhmad Tuhan Yang Maha Esa kami para wisudawan secara sadar dan bertanggung
jawab mengikrarkan panca prasetya (1) kami wisudawan adalah tenaga kependidikan
yang taat dan setia sepenuhnya serta bersedia tetap membela negara dan bangsa
Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) senantiasa
menjujung tinggi profesi kependidikan, bersifat terbuka dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilomu pendidikan selaras dengan pembangunan bangsa dan negara
Republik Indonesia ; (3) senantiasa mengembangkan usaha kependidikan secara
demokratis bagi pembangunan manusia seutuhnya dengan memperhatikan potensi anak
didik dengan penuh cinta kasih; (4) dalam melaksanakan tugas sanggup bekerja
dengan jujur, disiplin, penuh tanggung jawab dan pengabdian, (5) senantiasa
menujujung tinggi nama baik almamater. Semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan
meridhoi kami dalam upaya mengamalkan Panca Prasetya ini
Berdasarkan paparan di atas,
jelaslah bahwa gelar yang dibeli dan ditebus dengan uang, adalah gelar yang
tidak diperoleh secara etik keilmuan sekaligus tidak memililiki makna. Yang ada
di dalamnya hanyalah transaksi ekonomi antara penjual gelar dan pembelinya.
Karena rasionalistas ekonomi yang dijadikan pertimbangan, maka lembaga pendidikan
tinggi tak ubahnya sebagai pasar dengan menjadikan gelar dan ijazah sebagai
komoditasnya
Pemikiran keilmuan telah direduksi
menjadi sebuah rasionalitas instrumental, yakni sesuatu sarana, insstrumen, dan
alat yang dipakai untuk mencapai tujuan secara efisien, dengan mengabaikan
nilai-nilai dan makna serta tidak peduli dengan proses dan ketentuan-ketentuan
akademik yang prosedural. Pengejaran gelar akademik berorientasi legitimasi
simbolik, jelas melecehkan nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, pemikiran
keilmuan, moral serta komitmen Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Mereka pengguna gelar akademik
simbolik, menurut hemat penulis telah membohongi diri sendiri, juga riskan
menyalahgunakan untuk menipu orang lain. Diakui atau tidak orang-orang yang
menyandar gelar akademik dan memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak
terpuji dan tidak patut itu telah melakukan kebohongan publik dan penipuan
terhadap masyarakat luas. Selama orang-orang seperti itu pamer dan bangga
dengan gelar-gelar illegal dan ijazah palsu itu, maka selama itu pula mereka
sedang berbohong dan menipu diri sendiri di tengah khlayah. Inilah yang oleh
Bactiar (2005) disebut dengan tragedi gelar tanpa nalar dan ijazah tanpa
kuliah.
C. Mengurangi Ketergantungan
Intelektual
1. Mengembangkan pembelajaran
pemikiran keilmuan
Menurut Dimyati (1996) salah satu
ungsur ilmu pengetahuan adalah items, yakni ilmu pengetahuan yang
berwujud berpikir rasional. Realisasi berpikir rasional tampak pada penggunaan
kata, kalimat, alenea, rumus pemecahan masalah, ataupun symbol-simbol.
Prasyarat untuk mewujudkan items tersebut adalah kemampuan individu untuk
membaca, menulis, memikir dan melakukan observasi (3M+O).
Ilmu pengetahuan adalah sistem
berpikir tentang dunia empiris. Dengan demikian pendidikan keilmuan adalah pendidikan
berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi taksonomi berpikir, maka
pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir pada tingkat kognitif tertentu.
Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan berpikir keilmuan terletak pada
tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran saat ini
menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir tingkat
analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak-anak Indonesia. Para pakar pendidikan
mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dominan di sekolah-sekolah masih
membelajarkan tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum
mampu menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling
esensi dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran
yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para pendidik telah
menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas, kritis, dan
kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan mereka
sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari pengembangan
kurikulum kita lebih lebih mengedepankan pembelajaran yang konstekstual dengan
lingkungan kehidupan sehari-hari anak. Akan tetapi sebaagian besar pendidik
kita belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran yang didasarkan
pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998, Kamdi, 2002). Kita
masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang cenderung mematikan
kreativitas anak.
Proses “pembelajaran” saat ini masih
diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak tidak bisa, menjadi bisa.
Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri,
mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis
soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran adalah proses
menyampaikan, memberikan, memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan dari guru
kepada siswa.
Dalam tataran ini siswa yang sedang
belajar bersifat pasif , menerima apa saja yang diberikan guru, tanpa diberikan
kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang dibutuhkan dan diminatinya.
Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna di dunia karena diberi
otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya
diberdayagunakan, difasilitasi, dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk
berpikir, bernalar, berkolaborasi, untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai
dengan minat dan kebutuhannya serta diberi kebebasan untuk belajar. Mari kita
runtuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi “mitos” bahwa belajar
adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama
ini diyakini banyak tenaga kependidikan. Jalaluddin Rakhmad (2005) dalam buku
Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak . Dengan kata
lain revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia
yang selama ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran. Pakar
komunikasi mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih
dahulu menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan (Ekamawati,W, Jawa Pos, 11
September 2005).
Menurut pandangan Slavin (1997))
dalam proses pembelajaran dosen tidak dapat hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam
dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini,
dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan
lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan
dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), dosen
sebaiknya hanya memberi “tangga” yang dapat membantu mahasiswa mencapai tingkat
pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang
memanjat tangga tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Brooks, 1990, Slavin, 1997), antara
lain (1) siswa perlu didorong secara individual menemukan dan mengubah
informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana, bermakna, agar menjadi
miliknya sendiri, (2) siswa perlu selalu membandingkan informasi yang satu
dengan informasi yang lain, jika tidak cocok, ia harus berupaya untuk
mengubahnya agar sesuai dengan skematanya. Dengan demikian maka belajar harus
bersifat konstruktif, artinya dapat digambarkan sebagai proses
berpikir pada saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan
sesuatu. Kegiatan tersebut bisa dalam bentuk eksplorasi, eksperimentasi,
kreativitas, ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerja sama atau
kolaboratif.
Perubahan paradigma pembelajaran di
atas mempunyai implikasi yang sangat besar, karena akan menumbuhkan kebiasaan
mental untuk dapat berpikir secara produktif. Indikasi-indikasi berpikir
produktif ( Marzano dalam Kamdi, 2002) demikian antara lain: (1) self-regulated
thinking and learning, yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang
dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting,
sensitive terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan;
(2) critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang
ceermat, jelas, terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat
pengetahuan,; dan (3) creative thinking and learning yang ditandai
dengan semangat tinggi, berusaha sebatas kemampuan, percaya diri, teguh, dan
menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan ketiga indikator di atas adalah dengan mengintegrasikan ke dalam
tugas-tugas di kelas dan menggunakan contoh-contoh khusus dari kehidupan orang
yang memiliki kompetensi unggul, misalnya kegigihan orang mempelajari perilaku
air sehingga menjadi ahli konstruksi bangunan seperti Ir. Sutami yang merancang
bendungan Karangkates.
2. Pengembangan belajar berpikir
kritis dan kreatif
Sering kita mendengar ungkapan
mengenai banyaknya mahasiswa yang ‘tidak berpikir’. Mereka pergi ke kampus
tetapi cara belajar mereka terbatas mendengarkan keterangan dosen, kemudian
tidak mencoba memahami ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh dosen mereka.
Selanjutnya, diruang ujian, mereka mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang
telah mereka hafalkan itu. Cara seperti ini, dalam pengertian yang khusus,
bukanlah suatu keberhasilan, dan merupakan cara belajar yang tidak kita
inginkan. Mengenai nilai dan ujian, harus diakui bahwa mahasiswa tersebut bisa
menjawab pertanyaan.
Sayang sekali, dalam sistem
pendidikan dewasa ini, ada mahasiswa yang gagal memahami perkuliahan, sebab
mereka hanya sekedar menghafal tanpa mengerti apa yang mereka pelajari. Pada
akhirnya, kedua jenis mahasiswa (mereka yang gagal memahami dan mereka yang
menghafal) mampu menjawab ujian dengan baik. Sebagian dari mereka mungkin
mendapat nilai yang tinggi dan dianggap mahasiswa yang sukses oleh masyarakat
(Hassoubah, 2002). Meskipun belum ada hasil penelitian yang kongkret, bahwa
seandainya para mahasiswa tersebut ditanya-setelah ujian selesai-apakah mereka
masih ingat ilmu pengetahuan yang telah mereka pelajari, maka tidak heran kalau
mereka sudah lupa apa yang telah mereka pelajari.
Para mahasiswa pasif akan
menimbulkan masalah. Dengan pengertian lain, mahasiswa yang ‘tidak berpikir’
hanya akan memenuhi tempat yang semestinya dipersiapkan untuk menghasilkan para
ilmuan yang akan memainkan peranan mereka sebagai hamba Allah dan khalifah
Allah di muka bumi. Akibat yang paling buruk adalah tugas dan tanggung jawab
pendidikan tidak tercapai, sementara para mahasiswa dapat tamat dan mendapatkan
gelar.
Pada saat yang sama, seharusnya para
mahasiswa mengevaluasi diri mereka dan berusaha. Mereka tidak boleh berdiam
diri saja. Karena, para pemuda ini kelak akan menjadi orang dewasa, akan
menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Mahasiswa ini
yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mesti dipersiapkan untuk menghadapi
tantangan dan permasalahan hidup. Tantangan dan permasalahan inilah yang akan
dihadapi oleh ‘pemikir’(.Tthe Liang Gie, 2003)
Berpikir dalam pendidikan formal
sebagian besar menekankan pada :(1) kemampuan menganalisis, (2) membelajarkan
siswa bagaimana memahami pernyataan, (3) mengikuti dan menciptakan argumen
logis, (4) mengiliminir jalur yang salah dan fokus pada jalur yang benar
(Harris, 1998). Berpikir adalah kegiatan memfokuskan pada eksplorasi gagasan,
memberikan berbagai kemungkinan-kemungkinan dan mencari jawaban-jawaban yang
lebih benar. Dua jenis berpikir dapat dibedakan yakni berpikir kritis dan
berpikir kreatif.
No
|
Berpikir
kritis
|
Berpikir
Kreatif
|
1
|
Analitis
|
Mencipta
|
2
|
Mengumpulkan
|
Meluaskan
|
3
|
Hirarkis
|
Bercabang
|
4
|
Peluang
|
Kemungkinan
|
5
|
Memutuskan
|
Menggunakan keputusan
|
6
|
Memusat
|
Menyebar
|
7
|
Obyektif
|
Subyektif
|
8
|
Menjawab
|
Sebuah jawaban
|
9
|
Otak kiri
|
Otak kanan
|
10
|
Kata-kata
|
Gambaran
|
11
|
Sejajar
|
Hubungan
|
12
|
Masuk akal
|
Kekayaan, kebaruan
|
13
|
Ya, akan tetapi......
|
Ya, dan......
|
a. Berpikir Kritis
Berpikir kristis adalah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang
apa yang harus dipercayai atau dilakukan . Perkin (1992) berpikir kritis : (1)
bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita
terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar
penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan
berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan
menerapkan stndar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya
untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Sedangkan
Beyer (1985) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan: (1)
menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari
yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi
dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang
ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang
ditawarkan untuk mendukung pengakuan. Menurut Harris, Robert (1998) beberapa
kata kunci dalam indikasi kemampuan berpikir kristis meliputi: (1) analytic,
(2) convergent, (3) vertical, (4) probability, (5) judgment, (6) focused, (7)
Objective, (8) answer, (9) Left brain, (10) verbal, (11) linear, (12)
reasoning, (13) yes but.
Berpikir kritis menurut Schafersman,
S.D.(1991) adalah berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan
dan reliable tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir beralasan,
mencerminkan, bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada
pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir
kritis adalah berpik mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi
yang relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara
logis, hingga sampai pada kesimpulan yang reliable dan terpercaya.
Karakteristik berpikir kritis: (1)
Menggunakan bukti secara baik dan seimbang, (2) Mengorganisasikan pemikiran dan
mengungkapkannya secara singkat dan koheren, (3) membedakan antara kesimpulan
yang secara logis sah dengan kesimpulan yang cacat, (4) menunda kesimpulan
terhadap bukti yang cukup untuk mendukung sebuah keputusan, (5) memahami
perbedaan antara berpikir dan menalar, (6) menghindari akibat yang mungkin
timbul dari tindakan-tindakan, (7) memahami tingkat kepercayaan, (8) melihat
persamaan dan analogi secara mendalam, (9) mampu belajar dan melakukan apa yang
diinginkan secara mandiri, (10) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam
berbagai bidang, (11) mampu menstrukturkan masalah dengan teknik formal,
seperti mate-matika, dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, (12) dapat
mematahkan pendapat yang tidak relevan serta merumuskan intisari, (13) terbiasa
menanyakan sudut pandang orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari
sudut pandang tersebut, (14)peka terhadap perbedaan antara validitas
kepercayaan dan intensitasnya, (15) menghindari kenyataan bahwa pengertian
seseorang itu terbatas, bahkan terhadap orang yang tidak bertindak inkuiri
sekalipun, dan (16) mengenali kemungkinan kesalahan opini seseorang,
kemungkinan bias opini, dan bahaya bila berpihak pada pendapat pribadi
Metode ilmiah merupakan metode
paling ampuh yang pernah ditemukan manusia dalam rangka mengumpulkan
pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang alam. Metode non ilmiah lebih
mengarah pada emosi dan harapn umat manusia dan lebih mudah dipelajari dan
dipraktekkan daripada metode ilmiah. Meningkatkan pengajaran metode ilmiah dan
manifestasinya yang terkenal yaitu berpikir kritis.
Berpikir kritis dapat diajarkan
melalui: (1) perkuliahan, (2) laboratorium, (3) tugas rumah, (4) Sejumlah
latihan, (5) Makalah, dan (6) ujian. Dengan demikian berpikir kritis dapat
dimasukkan dalam kurikulum dengan mempertimbangkan: (1) siapa yang mengajarkan,
(2) apa yang diajarkan, (3) kapan mengajarkan, (4) bagaimana mengajarkan,
(5)bagaimana mengevaluasi, dan (6) menyimpulkan
Sejumlah tujuan dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis diantaranya adalah: (1) memberikan pendidikan umum
tentang konsep dalam rangka mencapai tujuan melalui petunjuk yang membantu, (2)
merancang pembelajaran dengan menggunakan web dan isu yang bermanfaat, (3)
memadukan berbagai hasil pendidikan, (4) mendorong komunitas belajar di dalam
kelas, (5) menciptakan kesempatan berpikir kritis yang menyenangkan dan relevan
bagi siswa.
Sedangkan strategi yang dapat
digunakan pendidik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa
antara lain adalah: (1) mengadakan alat penilaian untuk memberikan nilai siswa.
Menciptakan masalah merupakan 20% dari keseluruhan nilai, (2) mendeskripsikan
syarat pelajaran secara mendetail sesuai silabus dengan menambah area online
(alamat website) yang dapat menyediakan akses informasi secara mudah, (3)
memberikan orientasi pelajaran, (4) . instruktur memberi pendapat untuk siswa
dalam pemberian masalah lewat e mail untuk memberi penguatan yang positif, dan
(5) beberapa hasil pelajaran dipadukan setelah pembelajaran usai.
b. Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah berpikir
secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil
sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang
yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam
menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang
berkaiatan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu
masalah daari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara realtif
dan kontekstual, bukannya secara universal atu absolut, (5) biasanya melakukan
pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan
alternatif, (6) berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi
perubahan demi suatu kemajuan. Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi
kratif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2)
tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internela dan bukan
karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/menyebar, (5) pola pikir
lateral/imajinatif.
Sedangkan Haris (1998) dalam
artikelnya tentang pengantar berpikir kreatif menyatakan bahwa indikator orang
berpikir kreatif itu meliputi: (1) Ingin tahu, (2) mencari
masalah, (3) menikmati tantangan, (4) optimis, (5) mampu membedakan penilaian,
(6) nyaman dengan imajinasi, (7) melihat masalah sebagai peluang, (8) melihat
masalah sebagai hal yang menarik, (8) masalah dapat diterima secara emosional,
(9) menantang anggapan/praduga, dan (10) tidak mudah menyerah, berusaha keras.
Dikatakanya bahwa kreativitas dapat dilihat dari 3 aspek yakni sebuah
kemampuan, perilaku, dan proses.
a. Sebuah kemampuan
Kreativitas adalah sebuah kemampuan
untuk memikirkan dan menemukan sesuatu yang baru, menciptakan gagasan-gagasan
baru baru dengan cara mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali
ide-ide yang telah ada.
b. Sebuah perilaku
Kreativitas adalah sebuah perilaku
menerima perubahan dan kebaruan, kemampuan bermain-main dengan berbagai gagasan
dan berbagai kemungkinan, cara pandang yang fleksibel, dan kebiasaan menikmati
sesuatu.
c. Sebuah proses
Kreativitas adalah proses kerja
keras dan berkesimbungan dalam menghasilkan gagasan dan pemecahan masalah yang
lebih baik, serta selalu berusaha untuk menjadikan segala sesuatu lebih baik
Selanjutnya Harris juga menyatakan
bahwa untuk dapat berpikir kreatif seseorang perlu memiliki metode berpikir
kreatif. Berbagai metode yang dapat dilakukan antara lain: (1) evolusi, yakni
gagasan-gagasan baru berakar dari gagasan lain, solusi-solusi baru berasal dari
solusi sebelumnya, hal-hal baru diperbaiki/ditingkatkan dari hal-hal lama,
setiap permasalahan yang pernah terpecahkan dapat dipecahkan kembali dengan
cara yang lebih baik , (2) sintesis, yakni adanya dua atau lebih
gagasan-gagasan yang ada dipadukan ke dalam gagasan yang baru, (3) revolusi,
yakni gagasan baru yang terbaik merupakan hal yang benar-benar baru, sebuah
perubahan dari hal yang pernah ada, (4) penerapan ulang, yakni melihat lebih
jauh terhadap penerapan gagasan, solusi, atau sesuatu yang telah dirumuskan
sebelumnya, sehingga dapat dilihat penerapan lain yang mungkin dapat dilakukan,
dan (5) mengubah arah, yakni perhatian terhadap suatu masalah dialihkan dari
satu sudut pandang tertentu ke sudut pandang yang lain. Hal ini dimaksudkan
untuk memecahkan suatu masalah, bukan untuk menerapkan sebuah pemecahan masalah
Pada bagian lain dinyatakan bahwa
perilaku negatif untuk dapat berpikir kreatif, diantaranya adalah:
- Oh tidak, sebuah masalah !
Reaksi terhadap sebuah masalah seringkali lebih besar dari pada masalah itu sendiri. Sebuah masalah adalah kesempatan dan tantangan untuk meningkatkan segala sesuatu. Masalah adalah (1) perbedaan yang ada dengan keadaan yang dinginkan, (2) menyadari atau mempercayai bila ada sesuatu yang lebih baik dari situasi saat ini, dan (3) kesempatan untuk bertindak positif. - Ini mustahil untuk dilakukan
Perilaku seperti ini, seperti kalah sebelum bertarung. Beberapa ungkapan yang terkait dengan ini : (1) manusia tidak akan pernah terbang, (2) penyakit tak bisa ditaklukan, (3) roket tidak akan keluar dari atmosfir. - Aku tidak bisa melakukannya atau tak ada yang bisa
dilakukan
Pemikiran yang baik dan perilaku yang positif serta kemampuan memecahkan masalah akan melesat dalam memecahkan berbagai permasalahan. Untuk dapat melakukan hal ini kuncinya adalah ketertarikan dan komitmen terhadap masalah itu sendiri. - Tapi saya tidak kreatif
Masalahnya ternyata bahwa kreativitas telah ditenggelamkan oleh pendidikan. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan ke permukaan. - Itu kekanak-kanakkan
Dalam upaya kita untuk selalu tampil dewasa dan anggun, kita sering menganggap rendah perilaku yang kreatif dan penuh permainan, yang pernah menandai masa kanak-kanak kita sendiri. Terkadang orang tertawa karena memang ada yang lucu. Tapi sering kali orang justru tertawa ketika mereka miskin akan imajinasi untuk memahami situasi yang ada. - Apa yang akan dipikirkan orang
Terdapat tekanan sosial untuk menyesuaikan diri untuk menjadi orang biasa saja, bukan menjadi orang kreatif. Hampir sebagian orang besar kontributor terkenal yang membawa ke peradapan lebih maju dihina, bahkan dihukum. Kemajuan hanya diciptakan oleh mereka yang cukup tegar untuk ditertawakan. - Aku pasti gagal
Thomas Edison, dalam risetnya untuk menemukan filamen yang dapat memijarkan lampu, melakukan lebih dari 1800 kali percobaan. Kegagalan haruslah diharapkan dan diterima. Kegagalan adalah alat untuk belajar yang dapat membantu menuju keberhasilan. Gagal adalah pertanda bahwa kita melakukan sesuatu, berusaha dan mencoba-jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.
Sedangkan hambatan mental terhadap
berpikir kreatif dan pemecahan masalah, meliputi
- Pransangka
Gambaran yang kita miliki seringkali menghalangi kita untuk melihat lebih jauh dari pada apa yang telah kita ketahui dan percayai, sehingga menjadikan sesuatu itu mungkin ada dan mungkin terjadi. - Pendapat fungsional
Terkadang kita mulai melihat sebuah obyek hanya dari namanya, daripada melihat apa yang bisa dilakukannya. - Tak ada bantuan belajar
Jika anda memerlukan informasi, ada perpustakaan, toko buku, teman, profesor dan internet. Anda dapat belajar melakukan apapun yang anda inginkan. - Hambatan psikologi
Apa yang semula dianggap menjijikkan malah dapat membawa kepada solusi yang lebih baik. Makan kadal mungkin terdengar tidak enak, tapi jika itu membuat anda bertahan hidup di alam liar, itu merupakan solusi yang baik.
Untuk dapat memiliki perilaku
positif untuk berpikir kreatif maka pada setiap individu mahasiswa perlu
ditumbuhkan sifat-sifat berikut:
- Rasa ingin tahu
Orang kreatif ingin mengetahui segala hal- segalanya-hanya sekedar untuk ingin tahu. Pengetahuan tidak membutuhkan alasan. - Tantangan
Orang-orang kreatif suka mengidentifikasi dan mencari tantangan di balik gagasan, usulan, permasalahan, kepercayaan dan pendapat. - Ketidakpuasan terhadap apa yang ada
Ketika anda merasa tidak puas terhadap sesuatu, ketika anda melihat ada masalah, akankah anda mencoba memecahkan masalah dan memperbaiki keadaan. Semakin banyak masalah yang anda temui, semakin banyak pula pemecahan dan peningkatan yang dapat anda buat. - Keyakinan bahwa masalah pasti dapat dipecahkan
Dengan keyakinan dan didukung pengalaman, pemikir kreatif percaya bahwa sesuatu pasti dapat dilakukan untuk mengatasi masalah. - Kemampuan membedakan keputusan dan kritik.
Sebagian besar gagasan baru, karena masih baru dan asing, maka terlihat aneh, ganjil, bahkan menjijikkan. Sebuah gagasan mulai tampak bagus ketika sudah lebih familiar atau dilihat dengan konteks dan batasan yang berbeda. Jika suatu gagasan paling gila sekalipun dapat dipraktekkan sebagai batu loncatan, gagasan tersebut efisien.
3. Pengembangan Universitas bervisi
ilmiah dan riset
Salah satu kendala yang dihadapi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan
rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang tiap tahun. Pengkajian
terhadap mutu jurnal ilmiah yang dipublikasikan perguruan tinggi di Indonesia
memperlihatkan bahwa hingga tahun 1998 sebanyak 157 majalah terakreditasi
Dirjen Dikti, dari 500 judul majalah bercorak ilmiah dari 4500 terbitan berkala
di Indonesia (Kurniawan 1998).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa
kemampuan Universitas di Indonesia, dalam hal memproduksi karya ilmiah yang
berkualitas, belum termasuk menunjukkan tingkat yang diharapkan karena
pertumbuhannya yang cukup lambat apabila dibandingkan dengan
perubahan-perubahan sosio-kultural yang sangat cepat. Produktivitas buku atau
majalah ilmiah di negara kita tidak sepadan dengan julah ilmuwan yang adaaa dan
sangat tidak seimbang dengan jumlah pendiduk Indonesia (200 juta lebih) secara
keseluruhan.
Dalam kaitanya dengan visi ilmiah
universitas, setiap akademisi perlu dipacu dengan diberikan insentif yang cukup
untuk berkarya, berkreasi, dan menelorkan gagasan-gagasan baru yang fungsional
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna, disamping menciptakan iklim
keberaksaraan (literacy) masyarakat ilmiah. Suburnya tradisi kelisanan (orality)
hendaknya dikurangi dan sudah saatnya diganti dengan tradisi keberaksaraan
melalui karya tulis ilmiah. Mereka inilah yang berkepentingan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam menyelesaikan berbaagai
masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Idealnya, setiap karya ilmiah
yang dihasilkan oleh akademisi dapat dipublikasikan melalui majalah, jurnal,
surat kabar, dan lain-lain sehingga akan menggunggah para akademisi untuk
selalu berkreasi dan berkarya. Dengan demikian karya ilmiah yang dihasilkan
oleh universitas tidak menjadi dukumen mati atau arsip yang tersimpan rapi di
rak-rak pustaka.
Rendahnya produktivitas riset di
Indonesia juga tercermin dari rendahnya publikasi ilmiah dalam berkala
internasional. Berdasarkan statistik publikasi ilmiah di tingkat Internasional,
publikasi dari Indonesia hanya menyumbang sebanyak 0,012 % dari total publikasi
ilmiah dari seluruh dunia (Santosa, 1997; Kamdi, 1998). Ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand (0,086%),
Malaysia (0,064%), Singapura (0,179%), dan Philipina ( 0,035%). Kontribusi
terbesar diberikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat (30,8%),
Jepang (8,2%), Inggris (7,9%), Jerman (7,2%), dan Prancis (5,6%).
Situasi produktivitas riset di
Indonesia pada umumnya tidak menggembirakan meskipun telah banyak upaya untuk
meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan sumber daya investasi, misalnya dengan
kegiatan pelatihan-pelatihan penulisan karya ilmiah. Hal ini tidak terlepas
dari kelemahan yang berasal dari individu peneliti, misalnya adanya fenomena
isolasi intelektual, insentif yang terlalu rendah, promosi karier yang tidak
mendorong untuk melakukan penelitian, keterbatasan kemampuan dan ketidakmampuan
untuk mengikuti kemajuan-kemajuan penelitian di dunia global di bidang
masing-masing. Kelemahan lain yang mucul dapat berasal dari lingkungan kerja
peneliti, misalnya keterbatasan sumber daya dan sarana peenelitian,
keterbatasan informasi, institusi yang tidak stabil, kekurangan tenaga
pendukung, ketiadaan tuntutan untuk melakukan penelitian, kekakuan sistem
birokrasi yang ada dalam institusi, ketidakmemadaian investasi untuk
penelitian, dan hambatan-hambatan yang berasal dari sumber kebijakan dan
politik. Ini merupakan ciri yang banyak dijumpai di negara-negara berkembang
pada umumnya.
Oleh karena itu, agar berjaya
melalukan fungsi sosialnya dalam masyarakat, para akademisi Universitas harus
bekerja keras, tidak takut terhadap kesulitan, dan selalu jujur dalam segala
tindak-tanduknya. Para akademisi dituntut berpandai diri dalam membenai moral
dan merapikan bekal serta menyusun strategi untuk menunaikan tugas kademiknya.
Untuk itu, mereka dituntut selalu mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan
seni yang ditekuninya serta berupaya berperan sebagai penyumbang, pemacu, dan
penentu kemajuan. Keberhasilan ini hanya hanya dapat diraih dengan melakukan
kegiatan penelaahan dan penelitian yang bermutu sehinggga mereka dapat
menyuguhkan pendapat, teori, data, dan informasi baru serta orisinil ( Rifai
dalam Kamdi, 1998)
Setiap hasil pemikiran, pendapat,
refleksi, temuan dan gagasan dapat dituliskan ke dalam bentuk tulisan berupa
wacana-wacana ilmiah. Wacana keilmuan dapat berupa kertas kerja, laporan
penelitian, buku-buku, dan lain-lain jenis karya ilmiah. Produk karya ilmiah
universitas dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah, baik di tingkat
universitas, fakultas, atau jurusan/program studi. Produk karya ilmiah di
tingkat universitas menyangkut berbagai disiplin ilmu dan bersifat makro;
sedangkan produk karya ilmiah di tingkat fakultas, jurusam, program studi
menyangkut satu rumpun keilmuan tertentu.
Publikasi ilmiah yang dihasilkan
oleh setiap akademisi hendaknya dijadikan ajang pengembangan keilmuan yang
ditekuninya. Namun tidak tertutup kemungkinan penulis karya ilmiah dalam
menulis karyanya semata-mata karena motivasi pengumpulan angka kredit atau
berdasarkan permintaan masyarakat. Ini sebaiknya tidak dijadikan motivasi utama
dalam menulis karya ilmiah. Akan tetapi, yang lebih penting adalaah
berorientasi kepada kecintaan serta kemampuanya dalam disiplin ilmu yang
ditekuninya.
Karya ilmiah yang merupakan hasil
pemikiran, refleksi, penelitian, dan lain-lain dapat dijadikan tolak ukur
kecendekiaan seorang akademisi, , bobot keilmuannya, sekaligus akan mengurangi
ketergantungan intelektual pada dunia luar . Karya tulis ilmiah ini juga
merupakan indikator serta berometer kualitas dan keunggulan universitas yang
bersangkutan.
Bagaimana pendapat Anda !
Kepustakaan
- Dimyati. 1988. Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang kegiatan Pendidikan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
- Dimyati. 1996. Pendidikan Keilmuan di Indonesia: Suatu Dilema Pengajaran dan Penelitian. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. September. 2(1&2)
- Drost, 2000. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia Widisarana Indonesia
- Hossoubah,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004. Bandung: Yayasan Nuansa Cendia
- Kamdi, W. 2002. Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar. Gentengkali: Jurnal Pendidikan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35
- Kurniawan, K. 1998. Visi dan Strategi Universitas Mnghadapi Abad XXI. Jurnal Imu Pendidikan. Agustus 5(3): 131-149
- Marzano. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Va: ASCD
- Perkins,D.N. & Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New York: University Press
- Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning Center (MLC)
- Slavin. 1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston: Allin and Bacon
- Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta.
- Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar